Subuh Selasa ini (22/7/2025), seperti biasa, di bawah atap Pendopo Al Khadijah, para santri telah bersiap mengikuti kajian kitab. Tradisi yang dikenal dengan sebutan bandongan ini rutin dilaksanakan setiap pagi pukul 05.30 WIB, dan diampu langsung oleh Abah K.H. Munir Syafaat, pengasuh Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien serta Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri. Kitab Tafsir Al-Jalalain menjadi materi utama yang dikaji setiap hari, kecuali pada Senin, Kamis, dan Jum’at. Meski dalam kondisi sakit, semangat beliau dalam mengajar tak pernah pudar. Justru dalam kondisi itu, terpancar ketulusan dan dedikasi yang begitu nyata dalam menyebarkan ilmu.
Pagi ini, ada momen yang begitu membekas. Entah karena sedang
galau, atau karena memang suasananya berbeda, tetapi peristiwa itu tertanam
kuat dalam benak saya. Ia meninggalkan tanya, sekaligus kekhawatiran yang
dalam, jauh di relung hati.
Saat Abah membacakan ayat 71–72 dalam Surat Al-Ghafir:
اِذِ الۡاَغۡلٰلُ فِىۡۤ اَعۡنَاقِهِمۡ وَالسَّلٰسِلُؕ يُسۡحَبُوۡنَۙ (٧١) فِى الۡحَمِيۡمِ ۙ ثُمَّ فِى النَّارِ يُسۡجَرُوۡنَ ۚ (٧٢)
beliau berhenti sejenak pada kata al-ḥamīm, lalu mengulangnya sambil merevisi terjemahan yang sebelumnya dimaknai sebagai "neraka", menjadi "air yang sangat panas". Koreksi itu terasa sederhana, tapi bagi saya begitu dalam. Sebab makna yang tepat dari satu kata bisa membuka kesadaran akan dahsyatnya ancaman yang terkandung dalam ayat tersebut.
Sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, ketika seseorang
mendengar atau membaca ayat-ayat azab, hendaknya ia segera memohon perlindungan
kepada Allah. Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin (Juz I, halaman 279), Imam
Al-Ghazali menulis:
وَفِيْ أَثْنَاءِ الْقِرَاءَةِ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ تَسْبِيْحٍ سَبَّحَ وَكَبَّرَ، وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ دُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ دَعَا وَاسْتَغْفَرَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَرْجُوٍّ سَأَلَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَخُوْفٍ اسْتَعَاذَ. يَفْعَلُ ذَلِكَ بِلِسَانِهِ أَوْ بِقَلْبِهِ
"Di tengah-tengah membaca Al-Qur'an, ketika seseorang melewati suatu ayat yang berisi mensucikan Allah, dia bertasbih dan bertabir. Ketika melewati ayat yang berisi permohonan dan minta ampunan, dia berdoa dan beristighfar. Ketika melewati ayat yang berisi harapan dia mengajukan permohonan dan ketika melewati ayat yang berisi hal-hal yang menakutkan, dia memohon perlindungan. Itu semua dia lakukan dengan ucapan lisannya atau digerakkan dalam hatinya".
Sejak Abah sakit, memang sudah tidak memungkinkan bagi
beliau untuk hadir secara langsung di tengah santri saat bandongan. Beliau
berada di dalam kamar, ditemani santri ndalem, sementara kami para santri
lainnya berada di pendopo. Kajian tetap berlangsung, dibantu dengan mic
berkabel panjang yang menghubungkan suara Abah dari kamar ke pendopo. Meskipun
terpisah jarak, suara beliau tetap sampai ke hati kami. Tapi pagi ini, bukan
hanya suara yang sampai. Tangis beliau pun ikut mengetuk relung jiwa.
Tangis itu bukan sekadar suara yang tercekat atau jeda
sesaat. Tangis itu nyata, tulus, dan dalam. Ada jeda beberapa detik sebelum
Abah melanjutkan ke ayat berikutnya. Tapi yang membuat saya termangu bukan hanya
tangisan itu, melainkan keanehan, 'mengapa saya tidak menangis?'
Padahal yang dibacakan adalah ayat-ayat azab. Meskipun
konteksnya merujuk pada kaum kafir Mekah, namun ayat itu tetap merupakan
ancaman. Ini bukan ancaman dari sesama manusia, tapi ancaman dari Allah, Rabb
semesta alam. Tentang leher yang terbelenggu, tubuh yang diseret, dilemparkan
ke air yang sangat panas, lalu dibakar dalam nyala api. Kita diancam oleh
manusia saja sudah merasa cemas dan tertekan. Lalu, mengapa ketika Tuhan yang
mengancam, hati ini tetap diam saja? Seolah tidak ada hal aneh yang terjadi.
Saya teringat pengalaman ketika mandi air hangat di penginapan
beberapa waktu lalu, jantung saya berdebar karena suhu yang terlalu tinggi.
Lalu bagaimana bisa saya tak merasa gentar mendengar ancaman siksa air yang
mendidih dalam ayat tadi?
Saat mendengar Abah menangis, saya pun berusaha menangis.
Ingin rasanya hati ini ikut tergetar. Ingin rasanya ikut menangis seperti ulama
terdahulu. Sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Tibyan fi Adabi Hamalatil
Qur’an, para ulama terdahulu ketika mendengar atau membaca ayat-ayat azab,
mereka menangis, bahkan sampai pingsan karena dahsyatnya rasa takut. Dan jika
seseorang tak mampu menangis karena takut akan azab, maka menangislah karena
kerasnya hati.
Saya mencoba. Saya berusaha menangis karena sadar bahwa hati
saya ini mungkin sudah terlalu keras. Tapi tetap saja, tidak bisa. Bahkan untuk
menangisi kekerasan hati sendiri pun saya masih belum mampu. Dan itu
menyedihkan.
Perasaan itu belum hilang. Ia masih ada, mengendap, hingga
tulisan ini dituliskan. Saya hanya bisa berharap, semoga Allah melembutkan hati
saya. Semoga kerendahan hati menjadi pakaian saya. Semoga kesombongan dan segala
macam sifat tercela dijauhkan dari diri saya. Dan semoga kita semua, keluarga,
sahabat, guru, dan seluruh umat Nabi Muhammad SAW, senantiasa berada dalam
rahmat dan lindungan-Nya. Aamiin.
Ditulis oleh: HN Sidik