Trending

Menurunkan Ekspektasi, Menghindari Sakit Hati


Ekspektasi, sebuah kata yang sering kita dengar, sejatinya merupakan bentuk harapan yang mendalam dari seseorang terhadap sesuatu atau orang lain, dengan keinginan agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kriteria dan impiannya. Tidak selamanya ekspektasi ini bermuara pada motivasi yang membara dan tindakan proaktif. Ironisnya, tak jarang ekspektasi justru menjerumuskan sang ekspektator ke dalam jurang kekecewaan dan sakit hati yang mendalam. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana: karena apa yang diidamkan dan diharapkan tidak terpenuhi, atau bahkan berbalik 180 derajat dari bayangan. 

Sebagai seorang santri, lingkungan yang seharusnya penuh dengan ketenangan dan pembelajaran, saya akhir-akhir ini merasakan gelombang kekecewaan yang tak henti. Kekecewaan ini tidak hanya datang dari satu arah, melainkan dari berbagai sisi kehidupan. Mulai dari teman sendiri yang perilakunya jauh dari harapan, orang-orang yang dengan teganya menjadikan agama sebagai komoditas politik dan alat mencari keuntungan materi, mereka yang tanpa segan mengeksploitasi alam demi kepentingan sesaat, hingga rasa kecewa pada diri sendiri yang terasa statis, begitu-begitu saja, tidak ada perkembangan signifikan dari dulu hingga kini. Bentuk kekecewaan ini, saya sadari, sumber utamanya adalah karena terlalu banyak berharap. Ya, sebuah konsep yang sebenarnya selalu digaungkan, selalu diajarkan, namun seringkali terlupakan: berharap pada selain Allah SWT memang hanya akan berakhir pada kekecewaan. Kekecewaan ini muncul karena realita tidak sesuai dengan apa yang saya ekspektasikan.

Ekspektasi ini diibaratkan dengan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bisa memotivasi kita untuk berjuang lebih keras, menetapkan cita-cita tinggi, dan tidak takut mimpi. Namun, di sisi lain ekspektasi bisa menjadi beban yang berat apabila harapan terlalu tinggi dan tidak terwujud. Kita cenderung memproyeksikan idealisme kita pada orang lain, pada sistem, atau bahkan pada diri sendiri. Ketika kenyataan tidak sejalan dengan gambaran ideal tersebut, benturan yang terjadi akan sangat menyakitkan.

Sebagai contoh, ketika kita berharap teman akan selalu memahami dan mendukung kita dalam setiap keadaan, dan kemudian mereka menunjukkan kelemahan atau bahkan mengkhianati kepercayaan, rasa sakit hati itu akan terasa dua kali lipat lebih pedih. Demikian pula, saat kita memandang para pemimpin agama atau politisi sebagai figur suci yang tak bercela, dan kemudian mereka terlibat dalam praktik yang tidak etis atau korupsi, kekecewaan yang muncul bisa meruntuhkan iman dan pandangan kita terhadap dunia. Bahkan, ketika kita mematok standar terlalu tinggi untuk diri sendiri, kegagalan sekecil apa pun bisa memicu rasa bersalah dan tidak berharga yang menghancurkan.

Cara Mengelola Ekspektasi yang Terlalu Tinggi


Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya mengelola ekspektasi yang tidak sesuai harapan dengan tidak berlebihan. Dalam karya besarnya yang bernama Al-Hikam, Imam Ibnu Athaillah menyatakan :

رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ

Artinya :"Boleh jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya, dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu dengan anugerah  yang lain."

Makna "Anugerah" yang sebenarnya pada kutipan tersebut menurut Imam Ibnu Athaillah adalah anugerah memeluk agama Islam sebagai kenikmatan hakiki. Segala pemberian yang Allah berikan tidak ada yang melebihi anugerah keislaman seseorang. Beragama Islam berarti mendapatkan kenikmatan anugerah yang sangat besar dari Allah.

Imam Ibnu Athaillah seakan-akan menyampaikan bahwa, terkadang apa yang Allah takdirkan menurut pikiran manusia itu baik, tanpa disadari pemberian itu justru menghalangi dirinya untuk semakin dekat kepada Allah. Buat apa ekspektasi terpenuhi, sementara cahaya keIslaman di hati justru padam?

Sebaliknya, bisa jadi apa yang manusia sangka tidak baik, tapi ternyata itulah yang terbaik menurut Allah, karena dengan kondisi tersebut, seseorang menjadi hamba yang lebih dekat kepada-Nya. Konsep ini mengingatkan kita pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 216 :

 وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ...
Artinya : "... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Ayat ini menegaskan bahwa perspektif manusia sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah yang Maha Luas. Apa yang kita anggap baik belum tentu baik di hadapan-Nya, dan sebaliknya. Oleh karena itu, penting bagi seorang muslim untuk senantiasa menyandarkan segala harapan hanya kepada Allah SWT.

Menerapkan Konsep Tawakal dalam Mengelola Ekspektasi

Konsep tawakal adalah kunci dalam mengelola ekspektasi yang terlalu tinggi. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha seoptimal mungkin, kemudian menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah. Ini berarti kita harus tetap memiliki cita-cita dan berusaha mencapainya, namun tidak menggantungkan kebahagiaan atau ketenangan batin pada tercapai atau tidaknya cita-cita tersebut.

Bagi seorang santri yang merasakan kekecewaan mendalam, tawakal menjadi obat penawar. Ketika melihat teman yang perilakunya menyimpang, ingatlah bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah. Tugas kita adalah menasihati, mendoakan, dan tetap menjaga diri agar tidak terjerumus. Berharap teman selalu sesuai dengan idealisme kita adalah ekspektasi yang keliru, karena setiap individu memiliki kehendak bebas dan jalan takdirnya sendiri.

Melihat orang-orang yang mengeksploitasi agama atau alam, wajar jika timbul rasa kecewa dan kemarahan. Namun, alih-alih larut dalam kekecewaan, fokuskan energi pada hal-hal yang bisa kita kontrol. Kita bisa berperan aktif dalam menyuarakan kebenaran, mendukung gerakan kebaikan, atau bahkan mengambil tindakan nyata dalam lingkup kemampuan kita. Kekecewaan yang mendalam tanpa tindakan konstruktif hanya akan menguras energi dan menjauhkan diri dari Allah.

Pada akhirnya, inti dari mengelola ekspektasi adalah mengembalikan segala harapan kepada Allah SWT. Kekecewaan yang dirasakan seorang santri, baik dari lingkungan, orang lain, maupun diri sendiri, adalah pengingat bahwa kita telah salah menempatkan harapan. Manusia adalah makhluk yang lemah, penuh kekurangan, dan tidak memiliki daya upaya kecuali atas izin Allah.

Ditulis oleh:  HN Sidik


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak