Dalam
pembelajaran suatu cabang ilmu (fan), kita perlu mengetahui pengantar atau
pendahuluan mengenai ilmu tersebut. Masyhurnya, terdapat istilah
"Al-Mabadi' Al Asrah" atau sepuluh dasar untuk memahami apa yang akan
di bahas dalam pembelajaran.
Keutamaan Ilmu Nahwu
Ilmu
Bahasa Arab merupakan kumpulan dari 12 ilmu, disebutkan dalam bait :
نَحْوٌ وَصَرْفٌ عَرُوضٌ ثُمَّ قَافِيَةٌ ۞ وَبَعْدَهَا
فَنَّةُ قَرْضٍ وَإِنْشَاءُ
خَطٌّ بَيَانٌ مَعَ مُحَاضَرَةٍ ۞
وَالاشْتِقَاقُ لَهَا إِلَّا الآدَابُ أَسْمَاءُ
Nahwu dan Sharaf, ‘Arudh lalu Qafiyah. Setelah
itu seni menyusun syi’ir dan membuat prosa.
Khat, Bayan, dan Muhāḍarah, juga Isytiqāq dan sastra
Ke-12
ini membahas mengenai kalimat-kalimat arab dari ضَبْطٌ (harakat) تَفْسِيرٌ (ma'na), تَصْوِيرٌ (penggambaran), صِيَاغَتُهُ (percetakan), dan dari sisi أَفْرَادٌ (ketika satu kata)
dan تَرْكِيبًا (ketika
sudah disusun).
Dari
ke-12 ilmu ini yang didahulukan adalah ilmu nahwu. Hal ini karena,
dengan memahami ilmu nahwu, dapat menjadikan kita mengetahui ma'na kalimat yang
benar dan kalimat yang salah. Selain itu, dengan ilmu nahwu kita dapat terbantu
dalam memahami keseluruhan ilmu nahwu yang telah disebutkan di awal.
Bait ini
menjelaskan mengenai "keutamaan ilmu nahwu" :
النَّحْوُ يُصْلِحُ مِنْ لِسَانِ الْأَلْكَنِ
۞ وَالْمَرْءُ تُكْرِمُهُ إِذَا لَمْ يَلْحَنِ
Ilmu nahwu dapat memperbaiki lisan yang gagap
(berat mengucapkan sesuatu)
Dan orang dapat dimulyakan oleh orang lain
apabila dia tidak salah dalam berbicara
Dengan
menguasai nahwu, seseorang dapat menyampaikan maksudnya dengan jelas dan benar,
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Ketepatan seseorang dalam berbicara
menunjukkan kecerdasan dan pengetahuan, sehingga orang lain akan menghormati
dan memuliakannya. Dan disebutkan pula oleh muallif kitab ini, bahawasannya
ilmu yang paling utama atau ilmu yang paling besar, adalah ilmu yang dapat
meluruskan ucapan (dalam konteks ini adalah dalam bahasa arab).
Ahli Bahasa Arab Karena Kebiasaan Alami
Dahulu,
orang Arab asli berbicara bahasa Arab dengan i‘rab dengan benar secara alami tanpa
usaha atau belajar berlebihan (مِنْ غَيْرِ تَكَلُّفٍ)
Hal ini terjadi karena bahasa Arab sudah menjadi tabiat dan kebiasaan alami
mereka. Oleh karena itu, mereka tidak mempelajari ilmu nahwu, karena
secara otomatis mereka sudah menguasai struktur bahasa Arab yang benar.
لَسْتُ بِنَحْوِيٍّ يَلُوكُ لِسَانَهُ ۞
وَلَكِنْ سَلِيقِيٌّ أَقُولُ فَأُعْرِبُ
Aku bukan (seorang) ahli nahwu yang lisannya
kesulitan mengucapkan bahasa Arab.
Tetapi aku adalah orang yang berbicara secara alami, lalu ucapanku ter-i‘rab (benar secara tata bahasa)."
Mengapa Orang Arab Akhirnya Perlu Belajar Nahwu?
Seiring
perkembangan Islam, orang Arab mulai bercampur dengan bangsa-bangsa
non-Arab. Hal ini terjadi melalui pernikahan, perdagangan, hingga kegiatan
belajar mengajar yang menyebabkan lidah mereka yang awalnya murni, orisinil,
atau fushah, kemudian mengalami kerusakan atau kesalahan (lahn).
Akibatnya, lidah orang Arab lambat laun semakin luntur menghilang kemurniannya.
Hal ini terjadi karena beberapa sebab.
Urgensi Penulisan Ilmu Nahwu
Urgensi penulisan ilmu nahwu bagi Orang Arab menjadi muncul dikarenakan beberapa sebab. Diantara kisah yang menceritakan bahwa Orang Arab pada zaman dahulu mulai hilang kefasihan dalam berbahasa dengan benar adalah cerita dari Abu Al-Aswad Ad Duali (pendiri nahwu, orang yang pertama menuliskan ilmu nahwu)Alkisah,
Pada
suatu malam, Abu Al-Aswad Ad-Duali sedang bersama dengan anaknya. Saat itu,
anaknya menatap kepada langit dan merasa takjub akan keindahan bintang -bintang
yang ada di langit tersebut. Kemudian anak itu berkata ما أَحْسَنُ السَّمَاءَ (ia sampaikan dalam bentuk kalimat
istifham atau pertanyaan yang artinya adalah “apa yang membuat langit itu
indah?”) Lalu Abu Al-Aswad Ad Duali berkata نجومُها (Yang membuat indah itu bintang-bintangnya). Kemudian anak itu
kembali berkata إنّما أَردتُ التَّعَجُّبَ
(Yang aku maksud adalah ungkapan takjub).
Dijawablah
oleh ayahnya قولي: "ما أَحْسَنَ
السَّمَاءَ!"، وافهمي فَإِنَّكِ (Ucapkanlah padaku “Ma ahsana as-sama’a”
bukalah mulutmu) yang dalam hal ini memiliki arti untuk mengucapkan kalimat
ta’jub pengucapan harakat nun pada kata ahsanu seharusnya adalah fathah bukan
dhommah.
Diceritakan
pula dari kisah yang lain bahwasannya Abu Al-Aswad Ad-Duali mendengar orang
membaca Al-Qur’an
إِنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ
وَرَسُولِهِ ,
huruf lam dibaca kasrah yang berarti majrur kepada al-musyrikina sehingga
memiliki arti Allah berlepas diri dari kaum musyrik dan Rasul-Nya.
Tentu
hal ini tidaklah tepat, seharusnya pembacaan tersebut adalah sebagai berikut :
إِنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ
وَرَسُولُهُ,
huruf lam dibaca dhommah yang berarti menjadi man’ut kepada Allah sehingga
memiliki arti Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kaum musyrik.
Berangkat
dari hal inilah Abu Al-Aswad Ad-Duali merasa kaget dan khawatir jikalau
kesalahan kesalahan ini terus menyebar khalayak luas. Khawatir akan keindahan
Bahasa Arab ini akan semakin luntur. Kekhawatiran ini muncul pada waktu awal
permulaan Kesultanan Arab pada masa Ali Bin Abi Thalib walaupun pada Kitab
Fathul Robil Bariyah Syarah Al Imrithy menjelaskan bahwa hal ini terjadi pada
masa Sayyidina Umar Bin Khatab.
Saat itu, hubungan orang- orang Arab dengan orang – orang
non Arab sulit untuk dihindarkan. Disisi lain dan merasakan kekhawatiran yang
sama dengan Abu Al-Aswad Ad-Duali. Lalu, Sayyidina Ali memerintahkan Abu
Al-Aswad Ad-Duali untuk menuliskan ilmu nahwu. Sehinnga pada awal kitab ini,
merupakan perintah dari Sayyidina Ali langsung mengenai pembahasan Pembagian
kalimat, bab inn awa akhwatuha, idhofah, dan imalah, ta’ajub dan juga istifaham
dan lain sebagainya. Kemudian Sayyidina Ali mengatakan kepada Abu Al-Aswad
Ad-Duali “kembangkanlah contoh ini” kemudian berdasarkan ucapan Sayyidina Ali, disebutlah
fan ini dengan Nahwu. Lalu Abu Al-Aswad Ad-Duali menuliskan apa yang diperintah
oleh Sayyidina Ali dan menambah beberapa bab hingga dirasa cukup.
Perlu diketahui pula bahwa Abu Al-Aswad Ad-Duali ini
merupakan penulis pertama mengenai ilmu nahwu. Kemudian datanglah beberapa
kelompok orang, di antara mereka adalah Maimun al-Aqran. Kemudian sekelompok
generasi setelah mereka—di antaranya: Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ kemudian generasi
setelahnya yaitu al-Khalil (bin Ahmad) kemudian murid beliau yaitu Imam Sibawayh dan Imam Al-Kisa’i Setelah
kedua imam ini kemudian para ulama nahwu terbagi menjadi dua bagian yaitu Basriyyīn
(ahli nahwu dari Bashrah) yang mengikuti Imam Syibawayh dan Kufiyyīn (ahli nahwu dari Kufah) yang mengikuti Imam
Kisa’i. Mereka terus saling bertukar ilmu, menetapkan kaidah, dan menyusun
kodifikasi ilmu itu dan memperbaiki hingga saat ini.
Wallahua’lam