Trending

Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah : Sosok Inspiratif Pejuang Anti Patriarki

Terinspirasi dari sosok Sayyidah Nafisah, cicit Rasulullah yang dikenal sebagai ulama perempuan dan guru dari Imam Syafi’i, nama Nafisah membawa harapan besar akan lahirnya figur perempuan alim yang berperan di tengah masyarakat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nyai Hindun bahwa Nyai Nafisah sering mendengar ayahnya berkata “aku pengen ndadekno ulomo wedok” (aku ingin mencetak/ menjadikan ulama perempuan).

Harapan pun terwujud. Nyai Durroh Nafisah menjadi salah satu dari sekian ulama perempuan yang tercantum dalam buku Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia. Lahir pada 18 Agustus 1954 di Bantul, Yogyakarta, Nyai Nafisah merupakan putri kelima dari pasangan KH. Ali Maksum (Rais 'Aam PBNU 1980-1984) dan Nyai R.M. Hasyimah Munawwir Krapyak. Silsilah keilmuan dan kebangsawanannya menjadi landasan kokoh yang membentuk dirinya sebagai sosok perempuan yang mampu mendobrak stigma patriarki, dengan keteladanan dan pemikiran yang progresif, tanpa meninggalkan akar tradisi keilmuan pesantren.

Latar Belakang Pendidikan

Nyai Nafisah menempuh pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan dasarnya dimulai di Sekolah Dasar Negeri Jageran Yogyakarta. Sebelum lulus SD, saat kelas enam, ia mulai belajar di Madrasah Muallimat Atas Nahdlatul Ulama (MMA NU) Ngampil Yogyakarta selama empat tahun.

Setelah itu, ayahnya memintanya untuk melanjutkan pendidikan agama di Pesantren al-Hidayah Lasem, yang diasuh oleh kakeknya dari pihak ayah, Kiai Ma’shum. Nyai Nafisah sudah memiliki bekal membaca Al-Qur'an dari neneknya (Nyai Hasyimah) sebelum masuk pesantren, yang sangat membantunya dalam menghafal. Ia berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur'an 30 juz hanya dalam dua tahun (1969-1971). Selama di Pesantren Al-Hidayah, Nyai Nafisah juga mendapat bimbingan langsung dari neneknya (Nyai Nuriyah) dan bibinya (Nyai Faizah). Selain menghafal Al-Qur'an, ia juga mendalami berbagai kitab klasik (turats) seperti Fathul Qorib, Fathul Muin (fikih), Ta’lim al-Mutaallim (akhlak), dan Jurumiyah (gramatika), yang membantunya memahami Al-Qur'an lebih mendalam.

Setelah dirasa cukup belajar di Pesantren al-Hidayah Lasem, Nyai Nafisah tidak langsung pulang ke Krapyak. Ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Kempek Cirebon Jawa Barat (1971-1973), yang diasuh oleh bibinya dari pihak ibu, Nyai Hindun Munawir. Di sini, ia tidak hanya melancarkan hafalan Al-Qur'an, tetapi juga memperdalam berbagai kajian kitab turats. Selama menimba ilmu di Pesantren Kempek inilah, Nyai Nafisah bertunangan dan kemudian menikah pada tahun 1973 dengan KH Nasih Abdul Hamid dari Pasuruan Jawa Timur. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang putri bernama Hindun Anisah, yang kelak menikah dengan KH Nuruddin Amin Bangsri Jepara.

Jejak Keberanian Sang Nyai

Keputusannya untuk menolak poligami menjadi salah satu babak paling krusial dan berani dalam hidup Nyai Nafisah. Ketika suaminya, KH Nasih Abdul Hamid memutuskan untuk menikah lagi, Nyai Nafisah dengan tegas menolak dan memilih untuk berpisah. Pada masanya, keputusan ini merupakan tindakan sangat langka dan kontrovesial, terkhusus di lingkungan pesantren Jawa Timuran yang menganggap budaya poligami sebagai hal yang wajar bagi seorang kiai. Keberaniannya untuk mengikuti kata hati, menunjukkan keteguhan prinsip dan komitmennya terhadap keadilan pribadi, meskipun harus menghadapi pandangan masyarakat yang belum sepenuhnya menerima.

Setelah berpisah, Nyai Nafisah semakin memantapkan diri untuk mengabdikan hidupnya pada dunia pendidikan, khususnya dalam mencetak ulama perempuan penghafal Al-Qur'an. Ia melanjutkan pendidikannya di Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) selama dua tahun (1980-1982) dan terus mendalami kitab-kitab turats serta tafsir kepada paman-pamannya dari keturunan KH Munawwir, seperti Kiai Zainal Munawwir dan Kiai Warson Munawwir. Semangat belajarnya yang tak pernah padam ini menjadi teladan nyata bahwa ilmu adalah bekal tak terbatas yang harus terus dicari.

Mendirikan Beyt Tahfidh An-Nafisa

Sebelum merintis Beyt Tahfidh di yayasan Ali Maksum, Nyai Nafisah turut serta mengajar di Pesantren Al Munawwir. Beyt Tahfidh An-Nafisa (Beta) bukan sekadar tempat menghafal Al-Qur'an, melainkan pembuktian bahwa perempuan mampu memimpin dan mengembangkan lembaga pendidikan berkualitas tinggi. Di bawah asuhannya, Beyt Tahfidh berkembang pesat, menarik santri dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan dari keluarga tokoh nasional seperti Jusuf Kalla dan AA Gym. Ini menunjukkan kepercayaan luas masyarakat terhadap kepemimpinan dan kualitas pendidikan yang ditawarkan Nyai Nafisah.

Filosofi Nyai Nafisah dalam mendirikan pesantren melampaui sekadar hafalan. Beliau menekankan pentingnya pengamalan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kedisiplinan, kemandirian, dan wawasan yang luas. Wejangan yang masyhur kepada para santrinya adalah “Dadi perempuan iku kudu cerdas, terampil lan trengginas, ojo kagetan lan gumunan (menjadi perempuan itu harus cerdas, terampil dan cekatan, jangan mudah terheran-heran)”. Para santri selalu ditekankan untuk menjadi pribadi yang cerdas, memiliki pemikiran visioner, tidak kolot, lincah dan kreatif.

Lingkungan Beyt Tahfidh juga mencerminkan nilai-nilai yang digaungkan oleh Nyai Nafisah. Bangunan tertata rapi, bersih, dan nyaman, dengan berhiaskan ornamen-ornamen barang antik koleksinya, memberikan kesan kemewahan tersendiri yang jarang ditemukan di pesantren lain. Kedisiplinan dalam kebersihan dan kerapian menjadi habit yang tertanam kuat pada santri. Dalam proses setoran, baik pengasuh maupun santri diwajibkan sudah mandi, berpenampilan rapi dan wangi meskipun dimulai sebelum shalat subuh.

Selain itu, fasilitas seperti Beta Mart tidak hanya memenuhi kebutuhan santri tetapi juga melatih mereka berwirausaha. Nyai Nafisah juga mendukung santri untuk mengakses pendidikan formal di berbagai universitas, termasuk universitas non-muslim, dan mengikuti organisasi di luar pesantren, menunjukkan pemikiran terbuka yang menghargai potensi individu dan mendorong perempuan untuk berwawasan global.

Ibrah dari Kisah Nyai Durroh Nafisah

Pada tanggal 28 Juni 2025, Nyai Durroh Nafisah berpulang ke rahmatullah. Beliau mendahului kita semua untuk kembali kepada Sang Maha Pencipta, meninggalkan warisan keteladanan yang tak ternilai. Kehidupan dan perjuangannya menawarkan banyak ibrah (pelajaran) berharga, terutama dalam konteks kesetaraan gender dan peran perempuan dalam masyarakat masa kini:

1.     Keberanian dalam Memperjuangkan Hak
Keputusan Nyai Nafisah menolak poligami adalah simbol kuat keberanian seorang perempuan untuk berdiri teguh pada prinsipnya, bahkan di tengah tradisi yang mengakar kuat. Mengajarkan pentingnya menyuarakan ketidaknyamanan dan memperjuangkan keadilan pribadi.

2.     Kemandirian dan Produktivitas
Meskipun berasal dari keluarga terpandang dan berkecukupan, Nyai Nafisah memilih untuk mandiri. Hobi-hobinya beliau salurkan melalui berdagang perhiasan, fashion, dan suvenir, serta mengelola Beta Mart, menunjukkan bahwa perempuan harus produktif secara finansial dan tidak bergantung pada orang lain.

3.     Wawasan Luas, Visioner dan Terus Belajar
Nyai Nafisah tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan formal dan non-formal yang terus diasah menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah bekal tak terbatas yang harus terus dicari, tanpa memandang usia atau status.

4.     Keteladanan dalam Kepemimpinan
Sebagai pengasuh pesantren perempuan, Nyai Nafisah membuktikan bahwa kepemimpinan tidak mengenal gender. Beliau mampu membangun dan mengembangkan Beyt Tahfidh menjadi lembaga yang diakui kualitasnya, sekaligus mencetak santri-santri berprestasi yang menjadi duta Al-Qur'an di tingkat nasional maupun internasional.

5.     Keseimbangan Dunia dan Akherat
Hobi Nyai Nafisah seperti traveling dan mengoleksi barang antik, yang diimbangi dengan ketaatan beragama dan pengabdiannya, menunjukkan bahwa kehidupan duniawi dapat dijalani dengan penuh syukur dan keindahan tanpa melupakan nilai-nilai spiritual. Nyai Nafisah mengajarkan keseimbangan antara merawat diri, lingkungan, dan hubungan dengan Sang Pencipta.

6.     Pola Asuh Progresif
Nyai Nafisah menerapkan pola asuh yang demokratis dan memberdayakan. Baginya, santri adalah partner. Nyai Nafisah mendukung santri-santrinya untuk kuliah di berbagai jurusan, bahkan di universitas non-muslim, serta mengikuti organisasi di luar pesantren. Mencerminkan pemikiran terbuka yang menghargai potensi individu dan mendorong perempuan untuk berwawasan global.

7.     Penyampaian Pesan Kesetaraan Melalui Keteladanan
Nyai Nafisah tidak banyak berteori di mimbar, melainkan menyuarakan kesetaraan melalui tindakan nyata dan keteladanan sehari-hari. Kelembutan, kesantunan, kedermawanan, serta kedisiplinannya menjadi cerminan nilai-nilai Al-Qur'an yang hidup, yang mampu mengubah pandangan konservatif masyarakat secara perlahan namun pasti.

Nyai Durroh Nafisah menjadi bukti nyata bahwa perempuan dapat menjadi pelita yang menerangi jalan kesetaraan, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan jejak langkah yang nyata, menginspirasi generasi untuk berdaya dan berkontribusi bagi kemajuan umat dan bangsa, serta meruntuhkan tembok-tembok patriarki dengan kebijaksanaan dan keteguhan.

Ditulis oleh: HN Sidik

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak