Terinspirasi dari sosok Sayyidah Nafisah, cicit Rasulullah yang dikenal sebagai ulama perempuan dan guru dari Imam Syafi’i, nama Nafisah membawa harapan besar akan lahirnya figur perempuan alim yang berperan di tengah masyarakat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nyai Hindun bahwa Nyai Nafisah sering mendengar ayahnya berkata “aku pengen ndadekno ulomo wedok” (aku ingin mencetak/ menjadikan ulama perempuan).
Latar Belakang Pendidikan
Nyai Nafisah menempuh pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan dasarnya dimulai di Sekolah Dasar Negeri Jageran Yogyakarta. Sebelum lulus SD, saat kelas enam, ia mulai belajar di Madrasah Muallimat Atas Nahdlatul Ulama (MMA NU) Ngampil Yogyakarta selama empat tahun.
Setelah itu, ayahnya memintanya untuk melanjutkan pendidikan agama di Pesantren al-Hidayah Lasem, yang diasuh oleh kakeknya dari pihak ayah, Kiai Ma’shum. Nyai Nafisah sudah memiliki bekal membaca Al-Qur'an dari neneknya (Nyai Hasyimah) sebelum masuk pesantren, yang sangat membantunya dalam menghafal. Ia berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur'an 30 juz hanya dalam dua tahun (1969-1971). Selama di Pesantren Al-Hidayah, Nyai Nafisah juga mendapat bimbingan langsung dari neneknya (Nyai Nuriyah) dan bibinya (Nyai Faizah). Selain menghafal Al-Qur'an, ia juga mendalami berbagai kitab klasik (turats) seperti Fathul Qorib, Fathul Muin (fikih), Ta’lim al-Mutaallim (akhlak), dan Jurumiyah (gramatika), yang membantunya memahami Al-Qur'an lebih mendalam.
Setelah dirasa cukup belajar di Pesantren al-Hidayah Lasem, Nyai Nafisah tidak langsung pulang ke Krapyak. Ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Kempek Cirebon Jawa Barat (1971-1973), yang diasuh oleh bibinya dari pihak ibu, Nyai Hindun Munawir. Di sini, ia tidak hanya melancarkan hafalan Al-Qur'an, tetapi juga memperdalam berbagai kajian kitab turats. Selama menimba ilmu di Pesantren Kempek inilah, Nyai Nafisah bertunangan dan kemudian menikah pada tahun 1973 dengan KH Nasih Abdul Hamid dari Pasuruan Jawa Timur. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang putri bernama Hindun Anisah, yang kelak menikah dengan KH Nuruddin Amin Bangsri Jepara.
Jejak Keberanian Sang Nyai
Keputusannya
untuk menolak poligami menjadi salah satu babak paling krusial dan berani dalam
hidup Nyai Nafisah. Ketika suaminya, KH Nasih Abdul Hamid memutuskan untuk
menikah lagi, Nyai Nafisah dengan tegas menolak dan memilih untuk berpisah.
Pada masanya, keputusan ini merupakan tindakan sangat langka dan kontrovesial,
terkhusus di lingkungan pesantren Jawa Timuran yang menganggap budaya poligami
sebagai hal yang wajar bagi seorang kiai. Keberaniannya untuk mengikuti kata
hati, menunjukkan keteguhan prinsip dan komitmennya terhadap keadilan pribadi,
meskipun harus menghadapi pandangan masyarakat yang belum sepenuhnya menerima.
Setelah
berpisah, Nyai Nafisah semakin memantapkan diri untuk mengabdikan hidupnya pada
dunia pendidikan, khususnya dalam mencetak ulama perempuan penghafal Al-Qur'an.
Ia melanjutkan pendidikannya di Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) selama dua tahun
(1980-1982) dan terus mendalami kitab-kitab turats serta tafsir kepada
paman-pamannya dari keturunan KH Munawwir, seperti Kiai Zainal Munawwir dan
Kiai Warson Munawwir. Semangat belajarnya yang tak pernah padam ini menjadi
teladan nyata bahwa ilmu adalah bekal tak terbatas yang harus terus dicari.
Mendirikan Beyt Tahfidh An-Nafisa
Sebelum
merintis Beyt Tahfidh di yayasan Ali Maksum, Nyai Nafisah turut serta mengajar
di Pesantren Al Munawwir. Beyt Tahfidh An-Nafisa (Beta) bukan sekadar tempat
menghafal Al-Qur'an, melainkan pembuktian bahwa perempuan mampu memimpin dan
mengembangkan lembaga pendidikan berkualitas tinggi. Di bawah asuhannya, Beyt
Tahfidh berkembang pesat, menarik santri dari berbagai penjuru Indonesia,
bahkan dari keluarga tokoh nasional seperti Jusuf Kalla dan AA Gym. Ini
menunjukkan kepercayaan luas masyarakat terhadap kepemimpinan dan kualitas
pendidikan yang ditawarkan Nyai Nafisah.
Filosofi
Nyai Nafisah dalam mendirikan pesantren melampaui sekadar hafalan. Beliau
menekankan pentingnya pengamalan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan
sehari-hari, termasuk kedisiplinan, kemandirian, dan wawasan yang luas.
Wejangan yang masyhur kepada para santrinya adalah “Dadi perempuan iku kudu
cerdas, terampil lan trengginas, ojo kagetan lan gumunan (menjadi perempuan
itu harus cerdas, terampil dan cekatan, jangan mudah terheran-heran)”. Para
santri selalu ditekankan untuk menjadi pribadi yang cerdas, memiliki pemikiran
visioner, tidak kolot, lincah dan kreatif.
Lingkungan
Beyt Tahfidh juga mencerminkan nilai-nilai yang digaungkan oleh Nyai Nafisah.
Bangunan tertata rapi, bersih, dan nyaman, dengan berhiaskan ornamen-ornamen
barang antik koleksinya, memberikan kesan kemewahan tersendiri yang jarang
ditemukan di pesantren lain. Kedisiplinan dalam kebersihan dan kerapian menjadi
habit yang tertanam kuat pada santri. Dalam proses setoran, baik
pengasuh maupun santri diwajibkan sudah mandi, berpenampilan rapi dan wangi
meskipun dimulai sebelum shalat subuh.
Selain
itu, fasilitas seperti Beta Mart tidak hanya memenuhi kebutuhan santri tetapi
juga melatih mereka berwirausaha. Nyai Nafisah juga mendukung santri untuk
mengakses pendidikan formal di berbagai universitas, termasuk universitas
non-muslim, dan mengikuti organisasi di luar pesantren, menunjukkan pemikiran
terbuka yang menghargai potensi individu dan mendorong perempuan untuk
berwawasan global.
Ibrah dari Kisah Nyai Durroh Nafisah
Pada
tanggal 28 Juni 2025, Nyai Durroh Nafisah berpulang ke rahmatullah.
Beliau mendahului kita semua untuk kembali kepada Sang Maha Pencipta,
meninggalkan warisan keteladanan yang tak ternilai. Kehidupan dan perjuangannya
menawarkan banyak ibrah (pelajaran) berharga, terutama dalam konteks
kesetaraan gender dan peran perempuan dalam masyarakat masa kini:
1. Keberanian dalam Memperjuangkan Hak
Keputusan
Nyai Nafisah menolak poligami adalah simbol kuat keberanian seorang perempuan
untuk berdiri teguh pada prinsipnya, bahkan di tengah tradisi yang mengakar
kuat. Mengajarkan pentingnya menyuarakan ketidaknyamanan dan memperjuangkan
keadilan pribadi.
2. Kemandirian dan Produktivitas
Meskipun
berasal dari keluarga terpandang dan berkecukupan, Nyai Nafisah memilih untuk
mandiri. Hobi-hobinya beliau salurkan melalui berdagang perhiasan, fashion, dan
suvenir, serta mengelola Beta Mart, menunjukkan bahwa perempuan harus produktif
secara finansial dan tidak bergantung pada orang lain.
3. Wawasan Luas, Visioner dan Terus Belajar
Nyai
Nafisah tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan formal dan non-formal yang
terus diasah menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah bekal tak terbatas yang
harus terus dicari, tanpa memandang usia atau status.
4. Keteladanan dalam Kepemimpinan
Sebagai
pengasuh pesantren perempuan, Nyai Nafisah membuktikan bahwa kepemimpinan tidak
mengenal gender. Beliau mampu membangun dan mengembangkan Beyt Tahfidh menjadi
lembaga yang diakui kualitasnya, sekaligus mencetak santri-santri berprestasi
yang menjadi duta Al-Qur'an di tingkat nasional maupun internasional.
5. Keseimbangan Dunia dan Akherat
Hobi
Nyai Nafisah seperti traveling dan mengoleksi barang antik, yang diimbangi
dengan ketaatan beragama dan pengabdiannya, menunjukkan bahwa kehidupan duniawi
dapat dijalani dengan penuh syukur dan keindahan tanpa melupakan nilai-nilai
spiritual. Nyai Nafisah mengajarkan keseimbangan antara merawat diri,
lingkungan, dan hubungan dengan Sang Pencipta.
6. Pola Asuh Progresif
Nyai
Nafisah menerapkan pola asuh yang demokratis dan memberdayakan. Baginya, santri
adalah partner. Nyai Nafisah mendukung santri-santrinya untuk kuliah di
berbagai jurusan, bahkan di universitas non-muslim, serta mengikuti organisasi
di luar pesantren. Mencerminkan pemikiran terbuka yang menghargai potensi
individu dan mendorong perempuan untuk berwawasan global.
7. Penyampaian Pesan Kesetaraan Melalui
Keteladanan
Nyai
Nafisah tidak banyak berteori di mimbar, melainkan menyuarakan kesetaraan
melalui tindakan nyata dan keteladanan sehari-hari. Kelembutan, kesantunan,
kedermawanan, serta kedisiplinannya menjadi cerminan nilai-nilai Al-Qur'an yang
hidup, yang mampu mengubah pandangan konservatif masyarakat secara perlahan
namun pasti.
Nyai
Durroh Nafisah menjadi bukti nyata bahwa perempuan dapat menjadi pelita yang
menerangi jalan kesetaraan, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan jejak
langkah yang nyata, menginspirasi generasi untuk berdaya dan berkontribusi bagi
kemajuan umat dan bangsa, serta meruntuhkan tembok-tembok patriarki dengan
kebijaksanaan dan keteguhan.
Ditulis oleh: HN Sidik