Trending

Dilema Lari Pagi

Fun Run Stadion UNY

Biasanya, pagi hari setelah Subuh, saya bersama para santri lainnya sudah bersiap di pendopo untuk mengikuti kajian pagi. Khususnya saya, memastikan sound system menyala. Suara Abah, pengasuh kami, harus sampai ke para santri yang mengaji dengan jelas.

Namun hari ini berbeda. Beberapa minggu lalu, saya sudah mengiyakan ajakan teman-teman kantor untuk ikut acara fun run, sebuah kegiatan lari pagi yang sangat jarang saya lakukan. Awalnya saya kira acaranya dimulai pukul setengah tujuh, waktu yang pas setelah kajian selesai. Jadi saya pikir saya masih bisa menjalani keduanya. Tapi ternyata, acara dimulai pukul enam. Dan itu berarti bertabrakan langsung dengan waktu ngaji.

Di titik ini saya mulai bimbang. Tidak mungkin saya datang terlambat ke tempat lari karena rombongan harus berangkat bersama. Tapi saya juga tahu, bahwa saya punya tugas khusus untuk memastikan suara Abah sampai di pendopo.

Saya mencoba menyusun strategi. Saya meminta Zuhda, salah satu santri ndalem, untuk berangkat lebih awal ke ndalem, mendampingi Abah agar Abah tidak perlu menelepon saya. Pukul lima tiga puluh adalah waktu khas di mana Abah akan menelepon jika tidak ada santri di sisi beliau.

Namun rencana itu gagal. Zuhda terlambat. Dan benar saja, ponsel saya berdering. Abah bertanya, apakah sound-nya sudah menyala. Saya sedang tidak berada di pendopo, tapi saya tahu secara teknis sound system memang sudah disiapkan oleh mbak-mbak sejak habis Subuh. Maka saya menjawab bahwa semuanya sudah siap. Dalam hati saya tahu, itu bukan jawaban yang sepenuhnya jujur. Saya menjawab seolah saya sedang berada di tempat, padahal tidak. Ada rasa bersalah yang muncul.

Singkat cerita, setelah menerima telepon dari Abah, saya berangkat menuju UIN untuk berkumpul dengan teman-teman, lalu bersama-sama menuju Hotel Porta, titik kumpul sebelum berangkat ke GOR UNY (banyak yang menyebutnya dengan istilah stadion). Kami lari sekitar dua jam, menyusuri stadion dengan iringan musik knalpot (karena letaknya di pinggir jalan raya) dan semangat pagi yang segar.

Selesai lari, kami kembali ke Hotel Porta untuk sarapan. Awalnya saya kira sesi itu hanya acara santai. Tapi ternyata, setelah sarapan kami kembali ke ruang meeting. Di ruangan itu, para peserta diperkenalkan dengan materi tentang infrastruktur jaringan dan penggunaan sistem Fortinet.

Yang membuat saya takjub, semua peserta di ruangan itu rata-rata berusia di atas tiga puluh tahun. Saya mungkin yang paling muda di sana. Tapi yang muda tidak selalu yang paling cakap. Justru saya merasa menjadi orang paling asing dalam pembahasan itu. Istilah teknis yang mereka gunakan terdengar asing. Mereka berdiskusi dengan lancar, saling berbagi pengalaman, dan begitu mendalam dalam pemahaman.

Saya menyadari bahwa selama ini saya punya anggapan bahwa generasi muda seperti saya lebih paham soal teknologi. Tapi hari itu saya salah. Pengalaman tidak bisa dikalahkan hanya dengan usia. Saya merasa kecil, namun dari perasaan kecil itu saya tumbuh. Saya belajar bahwa tak ada yang lebih menghambat pemahaman selain merasa paling tahu. Bahkan dalam urusan ilmu, kesombongan adalah penghalang terbesar.

Saya teringat sabda Nabi Muhammad SAW:

اُطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.”

Hadis ini menjadi pengingat bahwa kewajiban menuntut ilmu tidak pernah berhenti, bahkan hingga akhir hayat. Saya belajar, ternyata mereka lebih mengamalkan hadis ini dibanding saya sendiri yang katanya santri.

Imam Syafi’i juga pernah mengatakan:

من لم يذق مر التعلم ساعة, تجرع ذل الجهل طول حياته

"Barang siapa yang tidak mau merasakan pahitnya belajar walau sesaat, maka ia akan menanggung pahitnya kebodohan sepanjang hidup."

Kalimat itu terasa menampar saya. Karena di momen itu, saya benar-benar sedang mencicipi pahitnya ketidaktahuan. Namun pahit yang seperti ini justru menjadi awal yang baik, selama saya tidak menyerah.

Dalam Ta’līm al-Muta’allim karya Imam Az-Zarnuji, beliau berkata:

اَلْعِلْمُ حَرْبٌ لِلْفَتَى الْمُتَعَالِي# كَالسَّيْلِ حَرْبٌ لِلْمَكَانِ الْعَالِي
“Ilmu itu memusuhi pemuda yang sombong, sebagaimana air bah akan menyingkir dari tempat yang tinggi.”

Kutipan itu tidak hanya berlaku di madrasah, tapi juga di luar sana—di tempat-tempat yang tak kita duga seperti ruang kerja, stadion, bahkan hotel. Semua tempat bisa menjadi madrasah, semua orang bisa menjadi guru, dan setiap kejadian bisa menjadi pelajaran. Asalkan hati kita tetap dalam posisi seorang santri yang senantiasa terbuka untuk belajar.

Hari itu saya belajar bahwa ilmu Allah itu luas. Tidak hanya di kitab kuning dan pengajian. Ilmu sains dan teknologi juga bagian dari ilmu Allah. Dan kita sebagai santri, tidak seharusnya hanya terpaku pada satu bentuk ilmu saja. Yang penting bukan sekadar di mana kita belajar, tapi bagaimana niat kita ketika belajar. Apakah kita menjadikannya wasilah untuk mendekat kepada Allah, atau sekadar untuk bangga-banggaan intelektual?

Saya pulang hari itu dengan kaki yang letih tapi hati yang penuh refleksi. Saya tahu saya telah lalai dari adab, memilih ikut acara luar dan melewatkan kajian, bahkan terpaksa menjawab sesuatu yang tidak seharusnya saya katakan. Tapi saya juga tahu bahwa rasa bersalah ini adalah alarm dari Allah. Rasa bersalah inilah yang membuat saya tetap ingin belajar, tetap ingin jujur, tetap ingin menjadi santri dalam makna yang sesungguhnya.

Saya ingin menjadi santri yang bukan hanya bisa memastikan sound system di pendopo menyala, tapi juga memastikan hati saya agar tetap jujur, tidak sombong, dan bersih dalam segala hal. Saya ingin menjadi santri yang tidak hanya kuat lari, tapi juga kuat menempuh jalan ilmu, meski jalannya berliku. Saya ingin menjadi santri yang rendah hati, yang tahu bahwa dirinya tidak tahu apa-apa, dan justru karena itulah saya terus belajar.

Hari ini, saya sadar bahwa kesalahan kecil bisa jadi pengingat besar. Saya tidak akan membenarkan apa yang saya lakukan, tapi saya akan menjadikannya pelajaran yang tidak saya ulang. Karena menjadi santri bukan soal tinggal di pesantren, tapi tentang bagaimana hati ini tetap ngaji. Setiap hari, setiap saat, di mana pun kaki berpijak.

Ditulis oleh: HN Sidik


1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak